Sketsa 80-an: RAHA Sekilas Langsung ke konten utama

Sketsa 80-an: RAHA Sekilas

Ini sketsa kehidupan tahun 80-an dari mata seorang lelaki yang pada saat itu masih anak-anak. Framenya diambil di Raha, sebuah ibu kota kabupaten di Pulau Muna. 

Siapa Tahun 80-an masih SD dan SMP, sini merapat…

RAHA Sekilas 80-an (1) 

Raha tahun 80-an, rumah belum dempet-dempetan. Masih banyak tanah lapang dan hutan belukar.

Masih banyak "jalan potong" lewat samping rumah orang. Dari belakang rumah satu ke belakang rumah yang lain, tembus ke jalan raya di sebelahnya. 

Jalan seperti ini biasa dipilih kalau ke sekolah, istilahnya potong kompas, biar tidak terlambat.

Kecuali alasan itu, lorong kecil begini jadi favorit orang pacaran. 

Tiada yang kalah hebat dari mencuri momen di jalan sepi dalam perjalanan pulang sekolah untuk sekadar menggenggam tangannya atau merengkuh bahunya.

Di zaman ketika sedikit sekali alasan bagi orangtua membiarkan anak perempuannya keluar rumah bahkan siang hari selain ke sekolah atau les.

Jadi saat pulang sekolah itu adalah waktu-waktu emas.

Baca Juga: 
Borombonga Makhluk Pemakan Api

Dulu tiada ojek apalagi angkot. Jangankan mobil, yang punya motor masih bisa dihitung jari. Beli motor era itu tidak bisa cicil. Hanya mereka yang sudah berkelebihan yang memilikinya atau pegawai negeri yang dapat pembagian kendaraan dinas.

Jalan raya teduh, banyak pohon besar di kiri-kanan. Paling banyak populasi mangga, kedondong, manggopa, ketapi, asam, kelapa, kapuk, nangka, srikaya, tidak kalah ramai jambu air.

Jadi, meskipun kota ini terletak di tepi pantai, udaranya tidak gerah. Hijau, adem, tenang.

Rumah-rumah masih luas pekarangannya

Maklum, rumah tempo dulu sebenarnya adalah pondok di tengah kebun. 

Seiring waktu, perlahan-lahan berubah jadi rumah tinggal dan dibangun permanen. Maka dari itu pula, banyak pohon buah-buahan di sekitarnya.

Baca Juga:
Main Tembak-Tembak Peluru Manggopa

Tanah lapang di sela-sela pepohonan dalam bekas-bekas kebun itu--namun masih cukup leluasa--biasanya dijadikan lapangan bola, bulu tangkis, voli, takraw, atau mendirikan meja pingpong.

Tidak heran anak 80-an itu menguasai segala macam cabang olahraga, walaupun ada satu yang kemudian hari dijadikan spesialisasinya.

Dari lapangan-lapangan kecil pekarangan rumah itu pula berkembang permainan tradisional seperti main bola bagi kaum lelaki. Main kasungki, lampa-lampa, tiga lobang, pocis, duber, main pinang, temba-temba, sumpit.

Dan kaum perempuan punya permainan ye-ye, kasede-sede, main bekel, juga kadudi. 

Ada pula permainan yang bisa dimainkan bersama lelaki dan perempuan seperti enggo, pateko, main ase, boi, dan masih banyak lagi.

Baca Juga:
Haroa di Raha 1990

Raha sebuah kota kecil di tepi pantai. Menghadap laut membelakangi hutan tropis didominasi jati alam.

Banyak sungai mengalir di sela-selanya. Ada yang besar dan tidak terhitung yang kecil. 

Sungai-sungai itu lewat di samping kiri kanan rumah penduduk, ada yang membelah halaman sekolah ketika mereka menuju ke laut dari hutan.

Salah satu sungai besar yang terkenal adalah Jompi, tempat kebanyakan orang Raha dapat "ijazah" renang di sini.

Lantaran kotanya masih hijau dan asri, di musim hujan mudah sekali muncul mata air-mata air kecil. Dia ikut menghilang begitu musim hujan usai. 

Dia dijadikan sumur-sumuran atau dibendung menjadi kolam bermain perahu-perahuan yang dibuat dari kayu kapuk atau gabus, kemudian ditempelkan sabun colek di pantatnya supaya bisa melaju sendiri. Seperti sungguhan.

Sabun dalam air akan menciptakan gelembung gas yang mendorong perahu ke depan. Bagaimana mereka mendapatkan rahasia sains ini? Farek, yang penting bermain. Menikmati masa kanak-kanak yang indah.

Satu hal yang merisaukan hati hanyalah ketika mama memegang sepotong rotan keluar dari dapur sambil berteriak sehingga suaranya terdengar seisi rumah. 

"Kenapa sabun cuci sudah habis padahal baru kemarin dibeli?" 

Bersambung ke edisi Cinta Monyet

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sketsa 80-an: Kapal Kayu

Pelabuhan Raha dulu sentral. Titik tolak lalu lintas kapal penumpang rute Kendari-Raha-Baubau. Dan pelabuhan transit yang bergairah. Jalur dilayani oleh kapal motor antara lain Cahaya Alam, Bawakaraeng, Imalombasi, Ilologading. Foto KM Bawakaraeng yang sempat diabadikan seseorang Kapal kayu, dermaganya pun masih kayu. Tahun 80-an segalanya masih sederhana. Tapi kesibukannya melampaui zamannya. Di Raha kapal dibagi, ke Kendari dan ke Baubau. Pelabuhan sangat ramai pada malam hari. Ada penjual gogos dan telur masak, buah-buahan, kacang kulit goreng, rokok, gula-gula, kue, macam-macam. Kacangnya digoreng pakai pasir, garing sekali. Ke Kendari ditempuh 7 atau 8 jam. Saking lamanya, tak jarang tercipta cinta satu malam. Tarik jangkar pukul 10.00 malam, berlabuh di Kendari subuh pukul 05.00. Beberapa orang memilih tidur-tiduran dulu di kapal, terang matahari baru turun. Lainnya langsung beranjak walau dunia masih gelap. Ada yang ke Kendari hanya turun belanja barang, kemudian balik lagi ke R

4 Cara ke Wakatobi

Wakatobi terletak di segitiga terumbu karang dunia, sehingga memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi. Keindahan bawah laut Wakatobi membuat dia dijadikan Taman Nasional Wakatobi pada 1996 oleh pemerintah Indonesia. Wakatobi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dia merupakan gugusan pulau dengan pulau utama Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Nama Wakatobi diambil dari akronim keempat pulau. Menurut situs Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI, Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu dari 50 taman nasional di Indonesia, dengan total area seluas 1,39 juta hektare, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia. Kedalaman air di taman nasional ini bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter di bawah permukaan air laut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sultra, Wakatobi terdiri atas 8 kecamatan, memiliki 142 pulau s

Nandooto, Gunung Tertinggi Kedua di Sultra Ditaklukkan Agustus 2023

Gunung Nandooto atau Osu Nandooto merupakan puncak gunung tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan ketinggian 2.421 meter di atas permukaan laut (Mdpl), berada di hamparan Pegunungan Tangkelemboke Kabupaten Konawe. Adapun puncak gunung tertinggi pertama di Sultra adalah Gunung Mekongga yang terletak di Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) dengan ketinggian 2.640 Mdpl. Pegunungan Tangkelemboke berdiri memanjang dari bagian barat hingga ke timur dan utara, masuk di wilayah administratif Kabupaten Konawe dan Konawe Utara (Konut) serta Kolaka Timur (Koltim).  Butuh 8 Hari untuk Sampai di Puncak Tim ekspedisi dan eksporasi Mahacala UHO Kendari menaklukkan puncak Gunung Nandooto di Pegunungan Tangkelemboke Konawe, gunung tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara . Tim Ekspedisi dan Eksplorasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mahacala) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari berhasil menaklukkan puncak tertinggi Pegunungan Tangkelemboke, Osu Nandooto, pada 29 Agustus 2023. Untuk sampai ke puncak dibutuhk