Aura Pena Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2023

Sketsa 80-an: Kapal Kayu

Pelabuhan Raha dulu sentral. Titik tolak lalu lintas kapal penumpang rute Kendari-Raha-Baubau. Dan pelabuhan transit yang bergairah. Jalur dilayani oleh kapal motor antara lain Cahaya Alam, Bawakaraeng, Imalombasi, Ilologading. Foto KM Bawakaraeng yang sempat diabadikan seseorang Kapal kayu, dermaganya pun masih kayu. Tahun 80-an segalanya masih sederhana. Tapi kesibukannya melampaui zamannya. Di Raha kapal dibagi, ke Kendari dan ke Baubau. Pelabuhan sangat ramai pada malam hari. Ada penjual gogos dan telur masak, buah-buahan, kacang kulit goreng, rokok, gula-gula, kue, macam-macam. Kacangnya digoreng pakai pasir, garing sekali. Ke Kendari ditempuh 7 atau 8 jam. Saking lamanya, tak jarang tercipta cinta satu malam. Tarik jangkar pukul 10.00 malam, berlabuh di Kendari subuh pukul 05.00. Beberapa orang memilih tidur-tiduran dulu di kapal, terang matahari baru turun. Lainnya langsung beranjak walau dunia masih gelap. Ada yang ke Kendari hanya turun belanja barang, kemudian balik lagi ke R

Sketsa 80-an: Kota Jati

Raha, sebuah kota pelabuhan yang tenang. Diapit laut dan hutan jati. Laut di timur, hutan jati di barat. Kotanya tidak luas, melainkan memanjang mengikuti garis pantai. Lebarnya dulu hanya kurang lebih 3 kilometer dari bibir pantai ke tepi hutan jati. Raha, pulau berbahan kars, persembahan mahakarya tektonik. Udaranya perpaduan aroma garam dan wangi bunga jati alam. Gairahnya merupakan pergolakan antara deru angin laut yang beringas dan semilir hawa rimba yang tentram. Baca Juga: Napabale Laguna, Lukisan Vagina Alam Tahun 80-an jalan ke Tampo dan Warangga jati berjajar di kiri kanan jalan raya, dahannya sudah saling bertaut. Melewati jalan itu sama dengan memasuki terowongan gelap. Matahari tidak tembus.  Jati tidak ada yang dibuang. Daunnya jadi pembungkus ikan dan pewarna alami, rantingnya kayu bakar, dahannya pagar, batangnya bahan rumah, akarnya jadi gembol. Bagaimana Pulau Muna bisa melimpah pohon jati, ada kisah yang diceritakan turun-temurun. Awal abad ke-15, memerintah Kerajaan

Sketsa 80-an: PHB

Dalam dunia percintaan 80-an ada yang namanya PHB, kata sandi dari PENGHUBUNG. Dia yang mengantarkan surat-surat atau pesan-pesan.  Dulu ketemu langsung susah. Orang tua menjaga anak perempuannya seperti emasnya. Telepon rumah masih barang mewah, telepon genggam 20 tahun lagi baru muncul. Saking sulitnya bertemu, lihat pagar rumahnya saja sudah senang. Lebih-lebih kalau bisa lihat dia dari jauh saat lewat depan rumahnya. Sudah tidak bisa tidur malamnya. Terbayang-bayang wajahnya. Dan apa juga yang membuat apabila tak sengaja harus lewat depan rumah doi, semakin dekat dengan rumahya semakin berdebar jantung? Jadi, kalau ada cowok naksir cewek, dicarilah perempuan yang akrab dengan si doi. Dimintai tolong, "sampaikan salamku". Kalau doi bilang "kembali salam", itu tanda jadian. Sesederhana itu. Jadi kirim salam itu dulu azimat. Sampai di sini bukan berarti tugas PHB selesai. Hari-hari selanjutnya, peran PHB semakin penting. Dia yang pergi ke rumah doi. Dia yang memint

Sketsa 80-an: Cinta Monyet

Remaja 80-an kalau baku ser (pacaran), mereka tidak ingin sekali diketahui orang lain. Ada rasa malu. Bakal jadi objek candaan teman-temanya atau dilaporkan pada orang tuanya. Kejadian diomeli habis-habisan di rumah. Tempo itu orang tua sangat dihormati dan disegani dan pacaran dianggap tabu bila masih duduk di bangku sekolahan. Masih hijau, katanya. Masih bau kencur. Bahkan sekadar dijodoh-jodohkan saja, waktu itu orang merasa risih. Apabila dia tidak sreg terhadap sosok yang dipasang-pasangkan kepadanya, biasanya dia menolak dengan cara marah. Marah adalah cara terpercaya untuk membantah. Dan, bila orang yang dimaksud ternyata dia sukai, dia juga murka, tapi sambil membasah-basahi bibirnya. Mereka tidak ingin perasaan hatinya mudah terbaca. Prinsipnya seperti syair lagu Iwan Fals, penyanyi idola zaman itu: "Cinta Ini Milik Kita". Kalau di tempat umum mereka seperti tidak saling kenal. Walau di penglihatan orang-orang, mereka kerap tertangkap basah saling curi pandang mesra.

Sketsa 80-an: RAHA Sekilas

Ini sketsa kehidupan tahun 80-an dari mata seorang lelaki yang pada saat itu masih anak-anak. Framenya diambil di Raha, sebuah ibu kota kabupaten di Pulau Muna.  Siapa Tahun 80-an masih SD dan SMP, sini merapat… RAHA Sekilas 80-an (1)  Raha tahun 80-an, rumah belum dempet-dempetan. Masih banyak tanah lapang dan hutan belukar. Masih banyak "jalan potong" lewat samping rumah orang. Dari belakang rumah satu ke belakang rumah yang lain, tembus ke jalan raya di sebelahnya.  Jalan seperti ini biasa dipilih kalau ke sekolah, istilahnya potong kompas, biar tidak terlambat. Kecuali alasan itu, lorong kecil begini jadi favorit orang pacaran.  Tiada yang kalah hebat dari mencuri momen di jalan sepi dalam perjalanan pulang sekolah untuk sekadar menggenggam tangannya atau merengkuh bahunya. Di zaman ketika sedikit sekali alasan bagi orangtua membiarkan anak perempuannya keluar rumah bahkan siang hari selain ke sekolah atau les. Jadi saat pulang sekolah itu adalah waktu-waktu emas. Baca Ju