Aura Pena Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2020

Bukan Malas...

 Sering sekali terdengar dari mulut penjajah dan orang asing yang menjadi kaya setelah tinggal di negeri ini, padahal mereka awalnya datang sebagai kuli paksa zaman Belanda, mereka mengatakan seperti ini. "Orang Indonesia pemalas. Padahal tanahnya luas, kekayaan alamnya melimpah, hutannya hijau terhampar." Dan pedihnya, anak negeri yang punya sedikit kuasa juga ikut-ikutan menggunakan narasi itu, agar terlihat tinggi dan untuk melarikan kegagalannya mengelola negara. Sebenarnya BUKAN MALAS, hanya TIDAK RAKUS. Penduduk tradisional mengelola alam dengan arif bijaksana, tidak asal makan. Dan mereka tidak menumpuk harta secara serakah untuk dibawa dalam kubur serta diwariskan tujuh turunan. Mereka ini asal bisa hidup sampai musim tanam berikutnya sudah cukup. Memang tidak tampak kaya dalam standar Barat, tapi sejahtera tidak mesti gedung. Mereka meniti hidup dengan norma, bukan dengan segala cara.  Itulah mengapa alamnya hijau lestari berabad-abad lamanya, lingkungan hidup seimba

Khianat Triumvirat

Rakyat kini sendirian. Ini bukan fitrahnya. Secara alamiah dia berdua tanah air. Hanya berdua, pada awalnya.  Interaksi antara keduanya melahirkan pemerintah. Bertiga, jadilah sebuah negara. Agak ke sini, negara hanya cinta tanah air. Dipakai untuk memodali hegemoni kekuasaan. Kekuasaan untuk membangun ketahanan negara dari ekspansi serta keterbelakangan setelah trauma penjajahan. Semakin ke sini, negara hanya cinta kekuasaan. Tanah air dijadikan objekan, rakyat dianggap ancaman, sementara potensial lawan diajak berteman. Sejak pemerintah berselingkuh dengan investor, negara jadi distributor, rakyat jadi pasar.  Distributor produk-produk luar negeri, dari negara-negara kreditor. Supaya terdengar eksekutif style mereka namakan impor. Rakyat hanya jadi objek pajak untuk mengisi APBN, yang dipakai untuk menyelenggarakan kenyamanan investor. Lalu, perlahan-lahan taipan mengambil alih tanah air, menguasai kekuasaan.  Tanpa tanah air, rakyat tak bisa bertani dan beternak. Menjadilah ia kuli