Anabule Langsung ke konten utama

Anabule

Anabule, sebuah ungkapan yang akan sangat sering terdengar di ruang publik di Kota Kendari dalam percakapan sehari-hari.

Istilah ini bukan berarti anak orang Bule (Barat). Ia juga tidak ada kaitannya sama sekali dengan manusia bulai atau albino.

Barangkali, memang pada awalnya, ia dipakai secara eksklusif untuk menyebut anak yang lahir di luar nikah.

Menempatkannya secara sembrono sama saja mengajak berkelahi.

Dalam perkembangannya, istilah anabule ungkapan yang ditujukan pada siapa saja. Menjadi kata pembuka atau penutup untuk mempertegas kata yang mengikutinya atau mendahuluinya.

Misal, “anabule, kotornya!” atau “bodohmu situ, anabule”.

Bahkan kadang-kadang dipakai sekaligus sebagai pembuka dan penutup.

Contoh, “anabule, mingir ko, anabule.”

Lama kelamaan, maksud dan maknanya pun beragam tergantung situasi.

Dewasa ini, istilah anabule bahkan dimaksudkan untuk menyatakan kekaguman. Sama kadarnya dengan “wow”.

“Anabule, bagusnya suaranya!”

Atau dipakai untuk memelas, merengek.

“Kasih pinjam dulu uangmu, anabule. Cepatmi, anabule”.

Kata “tolong” pun diganti dengan “anabule”. 

Kalau orang yang dimintai tolong ternyata enggan memberi, dia menolak dengan menggunakan istilah yang sama.

“Orang kayakah saya, anabule.”

Lain waktu, ungkapan anabule sering juga terdengar saat mereka menyatakan rasa terima kasih.

“Untung ada kau, anabule. Kalau tidak, mungkin saya sudah mati. Bisanya ko ada di situ anabule, apa ko bikin?”

Tidak semata menyatakan perasaan heran seperti kalimat di atas, kata anabule di lain kondisi bisa berarti jerit “aduh”.

“Anabule, sakit ko injak kakiku!”

Jadi, penting untuk tidak keliru menafsirkan secara sembrono.

Ungkapan anabule pada akhirnya mewakili semua ungkapan, semua rasa dirangkum jadi satu.

Apa tidak anabule namanya itu? (*)

Baca Juga:
Pelacur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sketsa 80-an: Kapal Kayu

Pelabuhan Raha dulu sentral. Titik tolak lalu lintas kapal penumpang rute Kendari-Raha-Baubau. Dan pelabuhan transit yang bergairah. Jalur dilayani oleh kapal motor antara lain Cahaya Alam, Bawakaraeng, Imalombasi, Ilologading. Foto KM Bawakaraeng yang sempat diabadikan seseorang Kapal kayu, dermaganya pun masih kayu. Tahun 80-an segalanya masih sederhana. Tapi kesibukannya melampaui zamannya. Di Raha kapal dibagi, ke Kendari dan ke Baubau. Pelabuhan sangat ramai pada malam hari. Ada penjual gogos dan telur masak, buah-buahan, kacang kulit goreng, rokok, gula-gula, kue, macam-macam. Kacangnya digoreng pakai pasir, garing sekali. Ke Kendari ditempuh 7 atau 8 jam. Saking lamanya, tak jarang tercipta cinta satu malam. Tarik jangkar pukul 10.00 malam, berlabuh di Kendari subuh pukul 05.00. Beberapa orang memilih tidur-tiduran dulu di kapal, terang matahari baru turun. Lainnya langsung beranjak walau dunia masih gelap. Ada yang ke Kendari hanya turun belanja barang, kemudian balik lagi ke R

4 Cara ke Wakatobi

Wakatobi terletak di segitiga terumbu karang dunia, sehingga memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi. Keindahan bawah laut Wakatobi membuat dia dijadikan Taman Nasional Wakatobi pada 1996 oleh pemerintah Indonesia. Wakatobi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dia merupakan gugusan pulau dengan pulau utama Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Nama Wakatobi diambil dari akronim keempat pulau. Menurut situs Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI, Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu dari 50 taman nasional di Indonesia, dengan total area seluas 1,39 juta hektare, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia. Kedalaman air di taman nasional ini bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter di bawah permukaan air laut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sultra, Wakatobi terdiri atas 8 kecamatan, memiliki 142 pulau s

Nandooto, Gunung Tertinggi Kedua di Sultra Ditaklukkan Agustus 2023

Gunung Nandooto atau Osu Nandooto merupakan puncak gunung tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan ketinggian 2.421 meter di atas permukaan laut (Mdpl), berada di hamparan Pegunungan Tangkelemboke Kabupaten Konawe. Adapun puncak gunung tertinggi pertama di Sultra adalah Gunung Mekongga yang terletak di Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) dengan ketinggian 2.640 Mdpl. Pegunungan Tangkelemboke berdiri memanjang dari bagian barat hingga ke timur dan utara, masuk di wilayah administratif Kabupaten Konawe dan Konawe Utara (Konut) serta Kolaka Timur (Koltim).  Butuh 8 Hari untuk Sampai di Puncak Tim ekspedisi dan eksporasi Mahacala UHO Kendari menaklukkan puncak Gunung Nandooto di Pegunungan Tangkelemboke Konawe, gunung tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara . Tim Ekspedisi dan Eksplorasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mahacala) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari berhasil menaklukkan puncak tertinggi Pegunungan Tangkelemboke, Osu Nandooto, pada 29 Agustus 2023. Untuk sampai ke puncak dibutuhk