Rumah Bordil Pertama di Kendari Langsung ke konten utama

Rumah Bordil Pertama di Kendari

Prostitusi di Kota Kendari meninggalkan jejak berusia 42 tahun. Berasal dari kepingan kenangan rumah bordil pertama bernama Samunggu.

Samunggu sebenarnya nama pemilik bisnis “lendir” yang beroperasi sekitar 1973 di Mandonga, tepatnya di Kelurahan Alolama,  sekarang Anggilowu. Kopral Ismail Samunggu.

Itu persis lima tahun setelah Gang Dolly Surabaya dibuka.

Kendari tempo itu berstatus kabupaten dengan hanya dua kecamatan: Kendari dan Mandonga.

Samunggu berdiri di lereng bukit, sebelah kiri bila menanjak bukit Alolama.

Warga sekitar mempunyai nama tersendiri untuk lokasi prostitusi itu dengan julukan Lembah Dosa.

Melongok keadannya sekarang ini, Juni 2015, tempat itu hanya dihuni perdu dan rumput liar, menggantikan hutan muda yang ikut terpapas garpu excavator proyek pengurukan.

Kurang lebih 10 meter ketinggian sebagian bukit itu hilang.

Lorong kecil di sebelah kiri itu dahulunya adalah jalan menuju “surga”.

Samunggu tidak ada lagi di mata, hanya ada dalam ingatan sebagian orang.

Dulu, La Ode Amiri atau akrab disapa La De Sulu saksi sejarah melukiskan, setiap siang banyak perempuan cantik berseragam SMA melambai pegawai yang pulang kantor.

"Om, singgah om," begitu nada merdu merayu, menggelitik birahi.

Siapa berselera akan dibawa ke ranjang dengan layanan bertarif Rp 5.000.

Ada pula yang dihargai Rp 3.000, paling murah Rp 2.500, tergantung level kecantikannya dan molek tubuhnya.

Zaman itu gaji pegawai muda Rp 7.000. Harga beras Rp 25, emas dijual Rp 2.500 per gram, mobil truk masih Rp 2,5 juta. Gaji level kepala bagian di kantor pemerintah kurang lebih Rp 60 ribu.

Bekas penjaga keamanan Samunggu, La Abu Tato mengungkapkan, para pelacur didatangkan dari Surabaya, Makassar, Manado, Palu, dan juga merekrut perempuan pribumi.

Kalau pasien bermalam (long time) tarifnya Rp 25 ribu. Setara 10 gram emas.

Bila  dibawa keluar, harganya bisa Rp 50 ribu bahkan sampai Rp 75 ribu.

Hari ini dengan harga emas Rp 500 ribu itu kurang lebih Rp 15 juta. Seharga artis pendatang baru.

"Yang bawa keluar biasanya orang kapal, dari Taiwan, yang biasa sandar di pelabuhan. Dibawa menginap di hotel," ucap La Abu, bekas anak buah Samunggu.

Salah satu orang tua di Anggilowu, Hamid Huri (79) menuturkan, tidak terhitung orang terjerumus di Lembah Dosa.

Rumah Hamid persis depan Samunggu, hanya dipisah jalan raya.

"Ada orang pulang dari salat Jumat singgah di Samunggu," katanya.

Begitu hebatnya "sihir" Samunggu.

Aspirasi Pejudi

Seks, miras, dan judi seperti tiga sekawan. Kadang mereka datang satu per satu sampai lengkap, seringkali juga bersamaan. Di Samunggu, seks semacam bentuk lain dari cerita rumah judi.

Wanita yang pernah bekerja untuk Samunggu, Amoy Tengsang (68) masih ingat dirinya diajak Ismail Samunggu membantu mengendalikan bisnis pada 1976.

"Ismail Samunggu tidak mau anaknya yang meneruskan bisnis begituan," kata Moy, sapaan akrabnya.

Amoy Tengsang

Ia adalah adik daripada istri kedua Ismail Samunggu, Kartini. Baik kartini maupun Ismail kini tinggal pusaranya saja.

Moy masih tinggal di Alolama membangun hidup baru di Dusun Alosowi, lumayan jauh dari Samunggu

Waktu Moy datang, "tiga sekawan" sudah lengkap.

Sebelum itu, ketika Ismail Samunggu pada 1973 membeli lahan La Ode Kentu di Alolama, sekarang Anggilowu, itu terlihat sama seperti rumah pribadi pada umumnya.

Kenyataan bahwa Kartini mempunyai hobi berjudi telah membuat perbedaan yang berarti.

"Di mana saja ada tempat berjudi dia pasti datangi," ujar Moy.

Kebiasaan itu bukan saja membutuhkan banyak cadangan uang segar, melainkan juga telah mengubah properti pribadi menjadi salah satu rumah judi.

Sementara itu, para pemenang judi memunculkan kebutuhan akan perayaan dan hiburan: Sampanye dan wanita.

Begitulah minuman keras dan prostitusi hadir di Samunggu.

Sebagai yang pertama dan satu-satunya, Samunggu bersinar sendirian, sampai-sampai ia perlu membangun rumah bordil seutuhnya.

Lokasinya tidak jauh dari rumah pertama, lebih dekat ke lembah.

Lelaki yang turut terlibat di awal pembangunannya, La Abu Tato menggambarkan, bangunan Samunggu berbentuk angka 7 dengan kaki tegak lurus.

Terdiri dari dua blok bangunan saling berkaut. Blok depan merupakan ruang tamu sekaligus kediaman Ismail Samunggu.

Blok belakang dikonstruksi dua lantai, delapan kamar khusus untuk para wanita penghibur (lady escort).

Ia masih ingat betul, banyak pegawai yang berkantor di Samunggu. Tidak sedikit pengusaha dan pejabat menyanggrah di sana, diam-diam.

Pensiunan Kantor Wilayah (Kanwil) Koperasi Provinsi Sulawesi Tenggara, Hamid Huri (79) mengungkapkan, hanya tiga orang dalam kampung, waktu itu, yang tidak setuju dengan Samunggu.

"Masyarakat kebanyakan suka karena bikin ramai kampung," kenangnya. Kemudian, masyarakat bisa berjualan. Pisang goreng, roti, kue, macam-macam.

"Saya tidak suka karena di pinggir jalan, melanggar norma, bisa merusak generasi," ucapnya.

Hamid mengaku pernah melaporkan pada bupati dan wakil rakyat, tapi Samunggu tetap tegar berdiri.

Ismail Samunggu, kata dia, sangat berkuasa seperti kepala kampung.

"Bagaimana orang mau menentang, dia berikan segala kesenangan. Kasih uang, minuman, dan perempuan," sebutnya.

Di samping itu, Ismail Samunggu punya alasan membangun bisnis tabu itu.

"Kalau ada tamu daerah dan minta perempuan, saya mau ambilkan di mana. Tidak mungkin saya kasih istriku," alas Ismail Samunggu sebagaimana dipetik Hamid.

Prostitusi di sini jelas sekali lebih tua dari Samunggu.

Ujung Waktu

Samunggu melahirkan inspirasi terjadinya kloning rumah bordil. Mula-mula Moy, menyusul Sulili, kemudian Hajra. Semua nama-nama ini jadi brand pemuas nafsu di masanya.

Karena satu dan lain hal, Amoy Tengsang (68) berhenti bekerja untuk Samunggu dan pada tahun 1980 mendirikan bisnisnya sendiri.

Moy membangun rumah bordil dua lantai berbahan kayu, juga di atas bukit persis berhadap-hadapan dengan Samunggu, diantarai jalan raya. Ia membeli tanah Hamid Huri (79)

Hamid masih ingat Moy datang menawar tanah untuk membangun kios.

"Karena niat menolong, saya kasih. Nyatanya (jual) perempuan," kenang Hamid.

Tidak lama setelah Samunggu tutup, Moy juga bubar.

Rumah bordil Sulili didirikan pada 1980 itu juga.

Sembilan tahun kemudian, Sersan Mayor (Serma) Sulili menjual rumahnya di Mandonga lalu pindah ke Anduonohu, meninggalkan dunia hitam.

Hajra yang dibangun di Kelurahan Okumene lumayan lama bertahan.

"Yang bangun Hajra itu orang yang kerja sama kita. Di sini tutup, dia buka di sana," kata Moy

Seorang yang pernah tinggal di kompleks Hajra, Muh Amin Baharuddin bertutur, sejak dibuka setelah Samunggu tutup, Hajra terus beroperasi sampai tahun sekitar terbakarnya Pasar Mandonga paling teruk pada 2002.

Di tengah perjalanan, saat bisnis sedang mekar-mekarnya, mula-mula Kartini lalu Ismail Samunggu berpulang satu demi satu.

Kartini meninggal karena melahirkan, 190 jahitan.

Bekas penjaga keamanan Samunggu, La Abu Tato mengisahkan, Ismail kawin lagi dengan salah satu wanita penghiburnya bernama Ipon dan dikaruniai seorang anak perempuan.

Sekitar tahun 1988 Ismail Samunggu diserang lever yang merenggut nyawanya.

Kendali bisnis dipercayakan pada Joni, salah seorang sepupu Ismail. Ia pun juga sudah almarhum.

Sepeninggal Ismail Samunggu, muncul masalah-masalah tak diundang, baik dari dalam pun dari luar.

Salah satunya; suatu hari dalam penanggalan Februari 1989 seorang polisi ditemukan di tengah jalan depan Samunggu, babak belur, berlumur darah. Umurnya tidak panjang setelah kejadian itu.

Selang beberapa waktu kemudian, lidah api menjilat langit Mandonga, dini hari pukul 03.00 Wita, sebuah hari di bulan Mei.

Hamid Huri, saksi sejarah yang masih hidup menggambarkan, malam naas itu nyaris tidak ada bedanya dengan malam biasa di Samunggu.

Antara erangan nikmat, jerit pilu, serta gelak tawa menjadi sabur dalam histeria pesta. Tiap malam sama hiruk-pikuknya.

Jikalau bukan karena ada kobaran api, malam itu pun akan dianggap kegaduhan yang lumrah.

Kebakaran seketika menjadikan prostitusi pertama di Kota Kendari tinggal serpihan sejarah. (*)

Baca Juga:
Hotel Pertama Kendari Riwayatmu Kini
Rona Kuno Kota Lama, Romansa Abad ke-19
Trancecologi Jalari Kendari
Kabut Misteri Lembah Tengkorak Nilangge
Sketsa 80-an: Kapal Kayu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Cara ke Wakatobi

Wakatobi terletak di segitiga terumbu karang dunia, sehingga memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi. Keindahan bawah laut Wakatobi membuat dia dijadikan Taman Nasional Wakatobi pada 1996 oleh pemerintah Indonesia. Wakatobi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dia merupakan gugusan pulau dengan pulau utama Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Nama Wakatobi diambil dari akronim keempat pulau. Menurut situs Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI, Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu dari 50 taman nasional di Indonesia, dengan total area seluas 1,39 juta hektare, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia. Kedalaman air di taman nasional ini bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter di bawah permukaan air laut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sultra, Wakatobi terdiri atas 8 kecamatan, memiliki 142 pulau s

Tempat Keramaian Kendari, Wisata Malam Ruang Terbuka

Kota Kendari punya beberapa pilihan tempat kongko di ruang terbuka, tempat orang membentuk keramaian umum. Beberapa di antaranya menjadi tempat wisata malam pelepas penat, mengendurkan urat syaraf, menurunkan ketegangan setelah seharian sibuk beraktivitas.  Kendari, daerah yang perkembangan kotanya melingkari Teluk Kendari, tidak heran kebanyakan wisata kuliner, hotel, dan spot foto hits dibangun di tepi teluk, menjual view teluk dan dua landmark Kendari yang ikonik, Jembatan Teluk Kendari dan masjid terapung Al Alam. Berikut ini pilihan wisata malam ruang terbuka dan tempat-tempat keramaian yang populer.  1. Kendari Beach Kendari Beach dengan latar Teluk Kendari dan Masjid Al Alam di kejauhan Ada sepenggal jalan bypass di Kemaraya, jalur sepanjang Taman Teratai sampai Meohai Park, sebuah taman yang diapit Jln Ir H Alala dan Jln Sultan Hasanuddin, tempat keramaian pertama di Kendari sejak 80-an dan masih eksis sampai hari ini sebagai tempat favorit nongkrong. Panjangnya hanya kurang le

Kerajaan Besar di Sultra Berakar dari Kedatuan Luwu kecuali Buton

Bila mencermati cerita rakyat masing-masing 4 kerajaan besar di Sulawesi Tenggara bagaimana kerajaan-kerajaan itu terbentuk, dalam ibarat, setiap cerita mewakili satu kepingan puzzle. Apabila keempatnya digabungkan maka terbentuklah satu gambaran utuh dan menyeluruh, yang dapat diambil satu kesimpulan dari padanya. Bahwa raja pertama Kerajaan Mekongga, Konwe, dan Muna, kecuali Kerajaan Buton, ketiganya berasal dari akar yang sama, yaitu Kedatuan Luwu di zaman Sawerigading. Raja pertama Mekongga Larumbalangi adalah keluarga Sawerigading, Raja pertama Konawe Wekoila atau We Tenrirawe juga keluarga Sawerigading. Wekoila kakak beradik dengan Larumbalangi. Kemudian, Raja Muna pertama suami We Tenri Abeng, kembar emas Sawerigading. Bahasa lainnya Ipar Sawerigading. Merujuk epos Lagaligo, suami We Tenri Abeng adalah Remang Rilangi. Sementara itu, Kerajaan Buton dibentuk oleh 4 laki-laki pendatang dari rumpun melayu pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14, yaitu Sipanjongan, Sijawangkati, S