Superiornya Usaha Pertambangan Langsung ke konten utama

Superiornya Usaha Pertambangan

Usaha pertambangan nikel pertama kali menginjakkan kaki di Konawe Utara

Rakyat hilang dari pasal 33 UUD 45 begitu bicara soal tambang. Sebuah pasal yang menjadikan usaha pertambangan begitu superior dan menduduki tempat sangat istimewa dibanding usaha lainnya.

Dalam praktiknya, bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran, titik.

Bupati Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Imran MSi, saat bincang-bincang dengan wartawan disela kunjungannya ke PT Ifishdeco, Selasa (20/9/11) lalu, mengatakan pada sebidang tanah setiap orang hanya berhak atas aset permukaan, tidak kandungan di dalamnya.

Pemikiran itu berpijak di atas pasal 33 UUD 1945. Dari pasal itulah, terang Imran, lahir pemilahan dinas pertanian, perkebunan dan kehutanan serta pertambangan.

Potensi bumi yang berada di atas permukaan tanah selanjutnya diurus dinas pertanian, perkebunan dan kehutanan. Sedangkan urusan bawah tanah dikelola dinas pertambangan. 

"Seandainya di bawah kantor bupati itu ada tambang, maka kantor bupati harus pindah," katanya sembari menunjuk kantornya.

Pengacara senior, Baso Sumange Rellung SH, menguatkan bahwa kandungan yang berdiam di bawah tanah masyarakat, bukan lagi milik orang yang menduduki lahan tersebut. Ia adalah milik negara.

"Hanya saja, keterbatasan negara menyebabkan kekayaan tambang diberikan hak pengelolaannya kepada swasta, lalu negara mendapatkan royalti dari itu. Jangankan kantor bupati, andai saja di bawah Istana Negara ada mineral, saya berhak mengajukan izin," paparnya.

Di Kabaena, Kabupaten Bombana, Sultra, seorang petani memiliki lahan seluas dua hektare. Ia tidak bersedia menjual tanahnya pada perusahaan tambang, dan tetap bertahan kendati teman-temannya luluh di belakang hari.

Perusahaan tambang menggali di sekelilingnya, sampai petani sendirian itu tidak bisa kemana-mana, terjebak, tidak ada jalan keluar. Suatu hari ia mengayun bendera putih, lalu menjual lahannya pada perusahaan.

"Solusinya tiada lain hanya bagi hasil atau royalti," kata Baso Sumange. Begitu superiornya usaha tambang.

Bukan tanpa alasan, para penggiat lingkungan dan kemanusiaan membunyikan alarm bahaya begitu melihat kehadiran industri tambang. Investor tambang tidak cuma datang bawa koper uang tapi ikut membawa sifat-sifat dasar tambang; intimidasi, pemaksaan, kekerasan dan penggusuran, pemiskinan.

Untuk mendapatkan kandungan mineral perusahaan harus menggusur miliaran ton tanah. Setelah bertemu, kadang harus menggunakan bahan peledak terutama bila mineral itu berdiam dalam urat bebatuan. Seiring pengisapan kandungan alamnya, daerah dimiskinkan.

Tentu saja sebelum itu, perusahaan harus mengklirkan permukaannya terlebih dahulu, dari jenis tanaman, binatang dan manusia. Tidak sedikit berujung pada kekerasan atau yang paling lembut dari itu; kriminalisasi warga.

Bintang, warga Kabupaten Bombana, Sultra, dipenjara tiga bulan atas tuduhan pencemaran nama baik oleh sebuah perusahaan tambang yang berinvestasi di sana. Sebelumnya, Ketua Rumpun Boloaho itu melaporkan dugaan penyerobotan tanah ulayat oleh perusahaan.

Banyak Bintang yang lain di Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Buton, Buton Utara, tapi suaranya tak terdengar.

Sebab sekelilingnya terlalu asyik menghitung royalti, corporate social responsibility (CSR), commmunity development (Comdev), serta semua kalimat asing yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebenarnya cukup diwakili dua kata; Uang Kasihan. 

Tambang Tidak Mengenal Tabu

Banyak usaha tapi tidak ada yang semerdeka tambang. Apa saja harus menyesuaikan diri dengan aturan, tapi tambang tidak mengenal tabu atau pemali.

Industri lain tidak boleh berdiri di sembarang tempat, terutama di jalur hijau. Industri tambang persetan dengan hutan lindung.

Nafas penetapan hutan lindung tentu saja menyimak kemaslahatan daerah dan masyarakat yang berdiam di wilayah itu. Menjaga keseimbangan ekosistem, menyangga hidup dan sumber penghidupan masyarakat terutama air.

Hutan lindung adalah area tabu. Jangankan menebang pohonnya, mematahkan rantingnya saja diancam penjara. Kecuali untuk usaha pertambangan. Begitu titik koordinat tambang dibuat, semua kekuasaan di dalamnya bersujud.

Jangankan hak orang per orang, SK Menteri harus menyesuaikan hutan lindung menjadi hutan produksi agar tambang bisa bekerja. Atas nama tambang, apa saja di dalamnya harus harus menyingkir atau disingkirkan.

Pertambangan barangkali hanya tunduk pada aturan ekonomi. Semua bisa ia kendalikan, kecuali harga pasar.

Konon pula perusahaan tambang diharapkan menyimak aturan tidak tertulis yang lahir dari kearifan lokal (local wisdom) misalnya aturan adat dan norma masyarakat.

Misalnya, kasus PT Bumi Konawe Abadi (BKA) versus s 91 warga Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Pengadilan Agama Unhaaha mengakui kedudukan mereka sebagai ahli waris Laperi Bin Tebau, yang meninggal tahun 1807.

Laperi mempunyai lahan seluas 438 hektar yang dikelola secara turun temurun hingga tiba giliran 91 orang tersebut. Warga sekitar juga membenarkan.

Bila ada yang tidak berpendapat lain, tentulah datangnya dari PT BKA. Hak ulayat, tanah warisan, harus dapat dibuktikan secara faktual.

"Kuburan di atasnya tidak membuktikan apa pun. Siapa saja bisa dikuburkan di mana saja dan tidak berarti lahan itu miliknya," kata pengacara PT BKA, Baso Sumange Rellung SH.

Sebab itu dalam dunia pertambangan hak ulayat dianggap sama dengan dongeng. Pengakuan orang harus dapat dibuktikan secara hukum.

Termasuk apabila ada keluhan soal hilangnya sumber air, kerusakan ekosistem di darat, udara dan laut, harus dibuktikan terlebih dahulu apakah benar berkaitan dengan kehadiran industri tambang atau memang semata-mata karena sial.

Bicara tambang semua jadi rumit dan berliku. Jangan kaget bila tiba-tiba mendengar gubernur atau bupati menyuruh perusahaan tambang untuk melaporkan rakyatnya biar dipenjarakan. Hanya pasar yang tidak bisa dikendalikan perusahaan tambang.

Mineral Tambang dan Air Mineral

Kiranya tak lama lagi sumur akan diperlakukan seperti tambang. Sebab ia berada di bawah permukaan tanah, naga-naganya gali sumur harus bayar royalti pada negara. Bila saja pengelolaan sumur diberikan pada swasta sebagaimana pengelolaan tambang, mungkin semua orang harus pindah dari planet ini.

Untungnya tidak terjadi. Sejumlah daerah seperti kota Bogor, kabupaten Sleman, provinsi Papua, menerapkan Izin Retribusi Pengeboran dan Pengambilan Air Bawah Tanah. Salah satu rujukannya adalah UU Minerba.

Meskipun air tanah dan mineral sama-sama berada di perut bumi, agak ironi bahwa perlakuan terhadap keduanya berbeda. Mineral tambang adalah usaha paling superior. Ia tidak punya pemali. Lantaran istimewanya, ia dibedakan dengan pengelolaan air tanah kendati sama-sama berstatus kandungan bawah tanah.

Dalam kasus sumur, masyarakat boleh menggali sendiri, memanfaatkannya untuk konsumsi keluarga atau diproduksi dalam bentuk usaha air mineral (usaha galon), hanya dikenakan retribusi.

Kedengarannya seperti standar ganda. Mungkin karena harganya berbeda. Seperti kata pameo; Beda pendapat karena beda pendapatan.

Walhi Indonesia dalam Catatan Walhi tentang RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, mengingatkan; swasta memiliki ciri dan watak menghisap dan mengkapitalisasi dan memonopoli untuk kepentingan individu atau kelompok.

Oleh karena itu pembangunan untuk kepentingan umum haruslah didanai oleh negara, bukan hutang. Dikerjakan oleh perusahaan negara dan operasionalisasinya harus dilakukan oleh negara, tidak dikuasakan kepada perusahaan swasta. 

Polisi Wasit Tunggal

Mantan Kasipenkum Kejati Sultra, Asrul Alimina SH MH, yang baru-baru ini diterima menjadi penyidik Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), menyebutkan jaksa tidak punya kewenangan pada kasus tambang. Kecuali berkaitan dengan gratifikasi dan korupsi.

Pada kasus korupsi bila polisi tidak melirik, jaksa bisa mengambil kasusnya. Demikian pula sebaliknya. Dalam kasus pertambangan, hanya polisi, yang bisa masuk. Polisi mempunyai lahan yang begitu luas, beberapa di antaranya hanya bisa dijamah oleh polisi.

Polisi punya Direktorat Tindak Pidana Khusus (Dit Pidsus) yang menangani Pidana Korupsi (Pidkor) dan Pidana Tertentu (Pidter). Tindak pidana seperti kasus Migas, perbankan, pertambangan, dan kejahatan dunia maya (cyber crime), dikerjakan Pidter. Semua berkaitan dengan pergerakan uang jumlah besar.

Polisi boleh dikata wasit tunggal dalam kasus tambang. Artinya, urusan tambang hanya dengan polisi semata, tidak ada cabang lain. Tidak heran, banyak desas desus ada jenderal dibalik sebuah perusahaan tambang.

Tulang punggung kasus tambang mestinya ada di pundak polisi, garda terdepan penindakan kejahatan dibalik usaha pertambangan. Kabupaten Muna kelimpahan emas hijau (baca; hutan jati), wajar jika ramai kasus illegal logging.

Dengan kurang lebih 400 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terbit di jazirah Sultra, tidak berlebihan jika semestinya ramai kasus pertambangan. Mustahil semua benar jalannya. Tapi bila keramaian hanya ditingkat petani, pekebun, pemangku adat dan pemilik hak ulayat, barangkali karena polisi terlalu banyak memikul beban tugas dan terlalu luas jangkauannya.

Ia yang menangani narkoba, ia juga mengembangkan Densus 88 untuk ikut menangani terorisme yang selama ini hanya dimiliki TNI. Belakangan polisi mengembangkan diri lebih jauh dengan kehadiran Direktorat Obyek Vital (Dit Obvit) yang bertugas memastikan keamanan obyek-obyek vital.

Ada yang mengatakan, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ibarat balon yang ditiup sebesar-besarnya hingga dapat melambung tinggi sekali. Tapi ia begitu rapuh hingga bahkan disodorkan benda sekecil jarum, ia bisa kempes. (*)

Baca Juga:
Tambang Datang Tembilang Asing


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempat Keramaian Kendari, Wisata Malam Ruang Terbuka

Kota Kendari punya beberapa pilihan tempat kongko di ruang terbuka, tempat orang membentuk keramaian umum. Beberapa di antaranya menjadi tempat wisata malam pelepas penat, mengendurkan urat syaraf, menurunkan ketegangan setelah seharian sibuk beraktivitas.  Kendari, daerah yang perkembangan kotanya melingkari Teluk Kendari, tidak heran kebanyakan wisata kuliner, hotel, dan spot foto hits dibangun di tepi teluk, menjual view teluk dan dua landmark Kendari yang ikonik, Jembatan Teluk Kendari dan masjid terapung Al Alam. Berikut ini pilihan wisata malam ruang terbuka dan tempat-tempat keramaian yang populer.  1. Kendari Beach Kendari Beach dengan latar Teluk Kendari dan Masjid Al Alam di kejauhan Ada sepenggal jalan bypass di Kemaraya, jalur sepanjang Taman Teratai sampai Meohai Park, sebuah taman yang diapit Jln Ir H Alala dan Jln Sultan Hasanuddin, tempat keramaian pertama di Kendari sejak 80-an dan masih eksis sampai hari ini sebagai tempat favorit nongkrong. Panjangnya hanya kurang le

4 Cara ke Wakatobi

Wakatobi terletak di segitiga terumbu karang dunia, sehingga memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi. Keindahan bawah laut Wakatobi membuat dia dijadikan Taman Nasional Wakatobi pada 1996 oleh pemerintah Indonesia. Wakatobi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dia merupakan gugusan pulau dengan pulau utama Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Nama Wakatobi diambil dari akronim keempat pulau. Menurut situs Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI, Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu dari 50 taman nasional di Indonesia, dengan total area seluas 1,39 juta hektare, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia. Kedalaman air di taman nasional ini bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter di bawah permukaan air laut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sultra, Wakatobi terdiri atas 8 kecamatan, memiliki 142 pulau s

Nandooto, Gunung Tertinggi Kedua di Sultra Ditaklukkan Agustus 2023

Gunung Nandooto atau Osu Nandooto merupakan puncak gunung tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan ketinggian 2.421 meter di atas permukaan laut (Mdpl), berada di hamparan Pegunungan Tangkelemboke Kabupaten Konawe. Adapun puncak gunung tertinggi pertama di Sultra adalah Gunung Mekongga yang terletak di Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) dengan ketinggian 2.640 Mdpl. Pegunungan Tangkelemboke berdiri memanjang dari bagian barat hingga ke timur dan utara, masuk di wilayah administratif Kabupaten Konawe dan Konawe Utara (Konut) serta Kolaka Timur (Koltim).  Butuh 8 Hari untuk Sampai di Puncak Tim ekspedisi dan eksporasi Mahacala UHO Kendari menaklukkan puncak Gunung Nandooto di Pegunungan Tangkelemboke Konawe, gunung tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara . Tim Ekspedisi dan Eksplorasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mahacala) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari berhasil menaklukkan puncak tertinggi Pegunungan Tangkelemboke, Osu Nandooto, pada 29 Agustus 2023. Untuk sampai ke puncak dibutuhk