Raja Festival Layangan Internasional Itu Bernama Kaghati Kolope Langsung ke konten utama

Raja Festival Layangan Internasional Itu Bernama Kaghati Kolope

Kalaupun umbinya sebagai makanan tradisional tidak begitu terkenal, namun daun Kolope melanglang dunia membawa harum Kabupaten Muna berkibar di angkasa Internasional. 

Layang-layang daun Kolope oleh penduduk Muna dinamakan Kaghati Kolope berulang kali menjuarai Festival Layang-Layang Internasional.

Dan lantaran daun Kolope itu juga, berbagai negara di dunia sudi datang ke Pulau Muna untuk mengikuti festival layang-layang. 

Layang-layang daun Kolope oleh warga lokal disebut Kaghati Kolope

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dinamakan Kolope di Muna disebut Gadung. Tumbuhan melilit, berumbi, dari suku Uwi-Uwian. 

Kolope menghasilkan umbi yang beracun, tapi dapat dimakan apabila diolah dengan benar.

Bila tidak diolah lebih dahulu atau diolah kurang benar, Kolope dapat menyebabkan pusing dan muntah, gejala keracunan.

Di Muna, Kolope dimakan dengan cara dikukus. Di daerah lain direbus, ada pula yang menjadikannya keripik. Di Malaysia malah diolah jadi arak dengan nama Ubi Arak, melalui fermentasi. 

Sebagaimana sulitnya mengolah buah Kolope hingga sampai di meja makan, mengolah daun Kolope menjadi kertas layang-layang juga tidak mudah.

Kolope merekahkan daunnya sekitar bulan Mei, persis ketika iklim menandai musim penghujan tiba. Daun baru itu terlalu muda untuk diolah menjadi kertas layang-layang, nanti sekitar bulan Juli daun Kolope sudah cukup matang untuk dipetik. 

Tumbuhan Kolope atau Gadung

Ada juga pilihan lain yakni menungu daun itu kering secara alami lalu gugur di tanah.

Tapi daun seperti itu terlalu rapuh dan mudah sobek. Lagipula, hasilnya kertas Kolope akan berwarna kuning. Kualitas terbaik daun Kolope adalah dipetik saat daun menua lalu dipanggang di atas bara api (bahasa Muna: dikandela). Setelah itu, dijemur di bawah terik matahari selama dua hari.

Hasilnya, kertas putih, elastis dan kedap air (waterproof). Untuk satu layang-layang, dibutuhkan sekitar 100 lembar daun Kolope. 

Setelah menjadi kertas putih, daun-daun itu direkatkan satu sama lain pada sisi-sinya sehingga menjadi satu lembaran yang utuh.

Lembaran calon kertas layang-layang itu dikepik dengan kerangka kayu agar tidak cerai berai dan disimpan selama 5 hari.

Lima hari kemudian, lembaran itu dirajut dengan tali agar menjadi lembaran utuh kertas layang-layang. 

Sambil menunggu itu, dapatlah dibuat kerangka layang-layang. Bahan bakunya bambu atau orang Muna menyebutnya patu-patu. Kemudian mempersiapkan tali untuk layang-layang.

Tali layang-layang juga unik karena dibuat dari daun nanas hutan. Seperti halnya memilih daun Kolope, daun nanas yang dipetik sebaiknya daun tua. Daun ini tidak langsung diolah, melainkan disimpan labih dahulu selama 2 hari. Setelah kering, daun dikerok dengan bambu sehingga yang tersisa hanya serat, lalu dicecar menjadi jumbai-jumbai benang.

Jumbai-jumbai itu selanjutnya dipilin menjadi seutas tali siap pakai. Satu helai daun nanas hutan dapat menghasilkan 10 meter tali layang-layang. Ketika kerangka dan tali sudah siap, berarti semua bahan sudah siap untuk dirangkai menjadi satu layang-layang Kolope utuh.

Zaman dahulu, kerangka layang-layang Kolope dibuat setinggi “Tegap Merdeka” pembuatanya, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.

Setelah semuanya siap, layang-layang diberi sentuhan terakhir yakni nada dering atau bahasa Muna-nya kamumu. Kamumu sebenarnya semacam pita suara yang dibuat dari daun nyiur, yang apabila ditiup angin pita itu bergetar dengan frekuensi tertentu, lalu mengeluarkan bunyi khas nan merdu mendayu terutama pada malam yang sunyi.

Karena kertas Kolope antiair, maka layang-layang ini tahan mengangkasa siang dan malam, selama berhari-hari. Sekehendak pemiliknya, kapan mau diturunkan. Dan, karena setiap orang memiliki ukuran pita Kamumu yang digemarinya, maka bunyi yang dihasilkannya juga menjadi spesifik.

Tak heran, bagi telinga yang berpengalaman, hanya dari bunyi kamumu, segera bisa menebak siapa pemilik layang-layang yang mengangkasa di atas langit malam itu. (*)

Baca Juga:
Katimboka: Layangan Pertama di Dunia
Layang-Layang Ikut Andil dalam Penemuan Ilmiah  
Napabale Laguna, Lukisan Vagina Alam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sketsa 80-an: Kapal Kayu

Pelabuhan Raha dulu sentral. Titik tolak lalu lintas kapal penumpang rute Kendari-Raha-Baubau. Dan pelabuhan transit yang bergairah. Jalur dilayani oleh kapal motor antara lain Cahaya Alam, Bawakaraeng, Imalombasi, Ilologading. Foto KM Bawakaraeng yang sempat diabadikan seseorang Kapal kayu, dermaganya pun masih kayu. Tahun 80-an segalanya masih sederhana. Tapi kesibukannya melampaui zamannya. Di Raha kapal dibagi, ke Kendari dan ke Baubau. Pelabuhan sangat ramai pada malam hari. Ada penjual gogos dan telur masak, buah-buahan, kacang kulit goreng, rokok, gula-gula, kue, macam-macam. Kacangnya digoreng pakai pasir, garing sekali. Ke Kendari ditempuh 7 atau 8 jam. Saking lamanya, tak jarang tercipta cinta satu malam. Tarik jangkar pukul 10.00 malam, berlabuh di Kendari subuh pukul 05.00. Beberapa orang memilih tidur-tiduran dulu di kapal, terang matahari baru turun. Lainnya langsung beranjak walau dunia masih gelap. Ada yang ke Kendari hanya turun belanja barang, kemudian balik lagi ke R

4 Cara ke Wakatobi

Wakatobi terletak di segitiga terumbu karang dunia, sehingga memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi. Keindahan bawah laut Wakatobi membuat dia dijadikan Taman Nasional Wakatobi pada 1996 oleh pemerintah Indonesia. Wakatobi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dia merupakan gugusan pulau dengan pulau utama Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Nama Wakatobi diambil dari akronim keempat pulau. Menurut situs Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI, Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu dari 50 taman nasional di Indonesia, dengan total area seluas 1,39 juta hektare, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia. Kedalaman air di taman nasional ini bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter di bawah permukaan air laut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sultra, Wakatobi terdiri atas 8 kecamatan, memiliki 142 pulau s

Nandooto, Gunung Tertinggi Kedua di Sultra Ditaklukkan Agustus 2023

Gunung Nandooto atau Osu Nandooto merupakan puncak gunung tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan ketinggian 2.421 meter di atas permukaan laut (Mdpl), berada di hamparan Pegunungan Tangkelemboke Kabupaten Konawe. Adapun puncak gunung tertinggi pertama di Sultra adalah Gunung Mekongga yang terletak di Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) dengan ketinggian 2.640 Mdpl. Pegunungan Tangkelemboke berdiri memanjang dari bagian barat hingga ke timur dan utara, masuk di wilayah administratif Kabupaten Konawe dan Konawe Utara (Konut) serta Kolaka Timur (Koltim).  Butuh 8 Hari untuk Sampai di Puncak Tim ekspedisi dan eksporasi Mahacala UHO Kendari menaklukkan puncak Gunung Nandooto di Pegunungan Tangkelemboke Konawe, gunung tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara . Tim Ekspedisi dan Eksplorasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mahacala) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari berhasil menaklukkan puncak tertinggi Pegunungan Tangkelemboke, Osu Nandooto, pada 29 Agustus 2023. Untuk sampai ke puncak dibutuhk