Merenda Kehidupan yang Hilang di Pulau Renda Langsung ke konten utama

Merenda Kehidupan yang Hilang di Pulau Renda

Laut seakan kembali menyapih kehidupan nelayan Pulau Renda. Ikan dan kepiting mulai akrab dan berdatangan, setelah bom-bom ikan yang merenggut sanak keluarganya, memaksa mereka eskodus berpuluh-puluh tahun lamanya.

Itulah tahun 2006 yang membangkitkan, persis ketika hutan bakau kembali menghijau dan terumbu-terumbu karang bertunas dengan leluasa.

Matahari memancar ceria, dibelai angin sejuk dari nafas-nafas mangrove yang sedang bergairah. Pantai biru membiaskan hijau, warna rumput laut yang menari gemulai dicandai ombak.

Apa pun yang membuat semuanya berubah, yang oleh masyarakat setempat disebut program Marine Coastal Resources Management Project (MCRMP), maka Pulau Renda, sebuah pulau kecil nelayan yang diapit kegarangan Selat Speelman dan Selat Tiworo, sekarang menjadi sebuah tempat yang ramah bagi suku Bajo Bungin Sikalangkah.

Pulau Renda terletak di utara kota Raha Kabupaten Muna. Satu dari 14 desa di Kecamatan Napabalano. Letaknya sedikit keluar, berupa pulau kecil di utara Tampo, ibu kota kecamatan. Ke sana mesti menyeberang pakai perahu atau katinting, tidak ada pilihan lain.

Dalam keadaan air sedang pasang, menempuhnya sekitar 45 menit. Tapi bila surut, bentangan karang memaksa kantinting mengambil haluan yang jauh, butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk merapati pelabuhan mungilnya.

Topografi pulaunya yang rendah dari permukaan laut, dari jauh seolah mengapung-apung dimainkan ombak, karena itu ia diberinama Pulau Renda, asal kata Rendah. Surga nelayan sebenarnya, yang pernah hilang dan tersia-sia oleh pengelolaan tanpa pengetahuan.

Keranjingan Bom ikan telah membuat masyarakat pulau ini bersenang-senang sejenak. Pulau yang diliputi hutan bakau dan dianugerahi taman terumbu karang itu perlahan-lahan rapuh. Tahun-tahun yang panjang berikutnya, penduduk berjumlah 88 KK yang menggantungkan hidup dari ikan dan kepiting itu lantas dipenuhi keluhan menjauhnya sumber kehidupan.

Bakau sejak lama hangus terbakar bersama tungku dapur, dijual atau dijadikan bahan rumah. Dan terumbu karang menuju kehancuran yang lebih cepat lagi.

Warga setempat, Ahmad Yadi, mengenang tahun 2003, tidak ada lagi yang tersisa untuk bom ikan. Nelayan lantas banting setir ke rumput laut.

”Kebetulan ada bantuan proyek MCRM, menyediakan dana bergulir sebesar Rp 180 juta,” Yadi memulai penuturannya.

Diakui, mulanya hanya ingin menagguk untung melalui aji mumpung. Apalagi syaratnya mudah, pinjaman yang dikompensasi dengan penanaman mangrove dan budidaya terumbu karang. Terlalu enteng.

Pesisir yang dahulunya senantiasa bergemuruh oleh ledakan-ledakan, kini biru menghijau. Sejak mengenal rumput laut, pengeboman ikan praktis berhenti. 

“Bahkan semua pembom sekarang mengelola rumput laut,” ungkap Yadi.

Saat ini sudah hidup sekitar 26 ribu pohon mangrove buah tangan warga setempat. Tapi kabar baiknya bukan itu, melainkan di hutan mangrove yang baru setinggi pinggang itu kini sudah bisa dipasangi tuba (alat tangkap) kepiting. Sejak adanya mangrove, kepiting rajungan rupanya mulai "mengkaveling" area permukiman di situ. Jadi, selain rumput laut, masyarakat mendapat penghasilan tambahan dari tuba kepiting.

Nun di bawah laut, ikan-ikan juga sudah mulai bermain-main di terumbu karang budidaya warga. Kegairahan yang kemudian menuntun lahirnya keramba tancap untuk beternak Kerapu Tikus dan Kakap Merah. Kini telah berkembang dua unit keramba tancap dengan volume panen yang lumayan, sekitar 50kg per bulan.

Keramba itu ada yang dikelola secara berkelompok dan ada juga yang dikelola secara sendiri-sendiri, di kolong rumahnya masing-masing. Kerapu tikus, kerapu tiger, dan kerapu lumpur menjadi idola.

Benih kerapu ditangkap sendiri atau beli di pulau tetangga. Membeli, satu ekor didapat dengan harga Rp10 ribu hingga Rp35 ribu. Saat panen, satu ekor kerapu tikus dapat mencapai berat 3-5 kg. Sementara harga kerapu tikus di pasaran mencapai Rp200 ribu per kilo.

Jika kepepet dan butuh uang segar secara cepat, menangkap satu ekor kerapu tikus, nelayan sudah bisa bermain-main dengan uang jutaan di kantung. Tak urung, kehidupan Renda terakhir kali menjadi sangat bergairah.

Pulaunya panjang, namun areal huni hanya sepanjang 600 meter dan lebar kurang lebih 120 meter. Seperti kebanyakan suku Bajau, perumahan dibangun di tepi laut berjejer mengitari pulau. Seperti kue donat, tengah pulau kosong melompong. Kekosongan itu menjadi ruang bagi kantor desa, koperasi nelayan, masjid dan sebidang hamparan rumput yang biasa dijadikan lapangan bola. Gersang, hanya pohon kelapa dan tumbuhan karang yang mampu bertahan hidup.

Tidak ada sumber air tawar. Warga membelinya di pulau tetangga, Moasi dan Toroiga, seharga Rp2 ribu per jeriken kapasitas 20 liter. Tapi antena parabola berjubel. Listrik tenaga surya ada hampir di tiap atap rumah. Ada dua antena ORARI dibangun sendiri oleh masyarakat setempat.

“Hp-nya orang Renda,” kata Yadi. 

Dengan itu mereka berkomunikasi dengan Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara (Butur), dan Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), mencari pasaran komoditi yang dihasilkan warga Renda. Tak heran, pelabuhan Renda kini ramai ditandangi kapal-kapal saudagar dari Baubau, Kota Kendari bahkan Makassar.

Oleh Baubau, kerapu tikus, kepiting rajungan, dan teripang dari Renda di ekspor ke Korea. Renda sendiri sebenarnya tidak banyak berinteraksi pasar dengan Raha atau Tampo. Paling banter, memasok ikan di pasar untuk konsumsi masyarakat kota sehari-hari. Beras dipasok saudagar dari Sinjai dan Bone, Sulsel. Boleh dikata hanya beli sayur dan pakaian, baru ke Tampo.

Dalam catatan sejarahnya, Renda diakui sendiri sebagai orang terbuang. Mereka berasal dari Pulau Bontu Bontu, dahulunya merupakan Kerajaan Datu. Disebabkan menempati kelas sosial rendah, mereka terpinggir. Tak tahan, mereka pun memisahkan diri dan memilih pulau kosong tidak jauh dari Bontubontu. Pulau itu dijuluki Bungin Sikalangkah.

Bungin adalah bahasa Bajau berarti pasir putih, sedang Sikalangkah artinya bintang laut. Dalam riwayat dikisahkan, nama Bungin Sikalangkah diberikan untuk orang yang ditemukan tewas dan mayatnya terdampar di pulau tersebut.

Tidak diketahui penyebab kematian, namun saat ditemukan mayatnya terdampar di tepi pantai, di atas pasir, seluruh tubuhnya penuh dikerubuti bintang laut. Begitulah awalnya orang-orang menyebut pulau kosong itu. Belakangan, setelah berpenghuni, warga setempat lebih senang menyebut dirinya Pulau Renda. (*)

Baca Juga:
Desa Tiga, Suku yang Tidak Kenal Wakil Rakyatnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Cara ke Wakatobi

Wakatobi terletak di segitiga terumbu karang dunia, sehingga memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi. Keindahan bawah laut Wakatobi membuat dia dijadikan Taman Nasional Wakatobi pada 1996 oleh pemerintah Indonesia. Wakatobi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dia merupakan gugusan pulau dengan pulau utama Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Nama Wakatobi diambil dari akronim keempat pulau. Menurut situs Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI, Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu dari 50 taman nasional di Indonesia, dengan total area seluas 1,39 juta hektare, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia. Kedalaman air di taman nasional ini bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter di bawah permukaan air laut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sultra, Wakatobi terdiri atas 8 kecamatan, memiliki 142 pulau s

Nandooto, Gunung Tertinggi Kedua di Sultra Ditaklukkan Agustus 2023

Gunung Nandooto atau Osu Nandooto merupakan puncak gunung tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan ketinggian 2.421 meter di atas permukaan laut (Mdpl), berada di hamparan Pegunungan Tangkelemboke Kabupaten Konawe. Adapun puncak gunung tertinggi pertama di Sultra adalah Gunung Mekongga yang terletak di Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) dengan ketinggian 2.640 Mdpl. Pegunungan Tangkelemboke berdiri memanjang dari bagian barat hingga ke timur dan utara, masuk di wilayah administratif Kabupaten Konawe dan Konawe Utara (Konut) serta Kolaka Timur (Koltim).  Butuh 8 Hari untuk Sampai di Puncak Tim ekspedisi dan eksporasi Mahacala UHO Kendari menaklukkan puncak Gunung Nandooto di Pegunungan Tangkelemboke Konawe, gunung tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara . Tim Ekspedisi dan Eksplorasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mahacala) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari berhasil menaklukkan puncak tertinggi Pegunungan Tangkelemboke, Osu Nandooto, pada 29 Agustus 2023. Untuk sampai ke puncak dibutuhk

Tempat Keramaian Kendari, Wisata Malam Ruang Terbuka

Kota Kendari punya beberapa pilihan tempat kongko di ruang terbuka, tempat orang membentuk keramaian umum. Beberapa di antaranya menjadi tempat wisata malam pelepas penat, mengendurkan urat syaraf, menurunkan ketegangan setelah seharian sibuk beraktivitas.  Kendari, daerah yang perkembangan kotanya melingkari Teluk Kendari, tidak heran kebanyakan wisata kuliner, hotel, dan spot foto hits dibangun di tepi teluk, menjual view teluk dan dua landmark Kendari yang ikonik, Jembatan Teluk Kendari dan masjid terapung Al Alam. Berikut ini pilihan wisata malam ruang terbuka dan tempat-tempat keramaian yang populer.  1. Kendari Beach Kendari Beach dengan latar Teluk Kendari dan Masjid Al Alam di kejauhan Ada sepenggal jalan bypass di Kemaraya, jalur sepanjang Taman Teratai sampai Meohai Park, sebuah taman yang diapit Jln Ir H Alala dan Jln Sultan Hasanuddin, tempat keramaian pertama di Kendari sejak 80-an dan masih eksis sampai hari ini sebagai tempat favorit nongkrong. Panjangnya hanya kurang le